Mencuatnya fenomena “panjat sosial” atau yang lebih dikenal dengan istilah pansos mendapatkan perhatian yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Pasalnya dinamika sosial di Indonesia yang sangat komples, mendorong fenomena ini untuk menjamur ke seluruh penjuru. Secara umum fenomena ini didasari oleh suatu keinginan untuk meningkatkan status sosial dan kualitas hidup yang lebih baik secara instan. Hal ini memicu diskusi dan perdebatan di seluruh pelosok Indonesia baik oleh pemerintah, ahli, media, selebriti, dan banyak pihak masyarakat.

Peningkatan Status Sosial Instan

Pansos secara umum merangkum ambisi pelakunya untuk meningkatkan hierarki sosial-nya secara instan. Cara-cara tradisional seperti tekun belajar, tekun berusaha, dan tekun bekerja dinilai kurang cepat dalam menghasilkan promosi hierarki sosialnya secara segera. Kehadiran sosial media yang memudahkan penggunanya untuk membuat personal branding, memberikan ruang untuk para pelaku pansos untuk mengisinya dengan konten yang dapat meningkatkan penilaian orang lain terhadap-nya. Secara psikologis fenomena pansos menjawab sifat dasar manusia untuk meningkatkan taraf hidupnya agar lebih baik, pasalnya tidak sedikit pelaku pansos yang menggunakan cara-cara yang tidak lazim dan bertentangan dengan norma masyarakat guna memproduksi konten untuk mendongkrak pamornya.

Banyak selebgram di media sosial tanah air yang akhirnya terkuak bahwa mereka meminjam mobil, pakaian, dan barang-barang mewah namun mengaku seolah-olah milik pribadi untuk dibagikan sebagai konten sosial medianya. Hal ini dikarenakan terlihat rupawan, kaya dan mapan penjadi hal penting bagi para pelaku pansos agar menjadi buah bibir netizen dengan harapan akan datangnya tawaran kolaborasi oleh para selebriti papan atas, tawaran promosi brand, atau bahkan tawaran masuk ke layar lebar, televisi dan iklan. Tentunya tanpa melewati pendidikan sekolah model, sekolah acting, atau sekedar memiliki portofolio yang kuat.

Kesenjangan Sosial yang Tinggi

Flexing pada hakikatnya menegangkan otot agar terlihat besar, namun kini dalam pergaulan mendapatkan arti baru sebagai pamer. Hampir sebagian besar dari konten media sosial berisikan flexing baik couple goals, travelling, pencapaian di tempat kerja, sertifikasi, dan yang paling banyak dari yang sudah disebutkan adalah pamer kekayaan. Tidak dapat dipungkiri bahwa kebanyakan para pelaku pansos berasal dari latar belakang sederhana dengan tingkat pendidikan yang bisa jadi tidak terlalu tinggi. Sedangkan sosial media, televisi, dan internet kerap menyajikan konten glamor selebriti yang bergelimang harta dan barang mewah. Dua polar kesenjangan ini menciptakan dorongan yang kuat bagi para pelaku pansos untuk menggapai strata sosial tersebut. Sehingga tidak aneh cara-cara yang tidak lazim dan etis untuk menjadi pilihan untuk dilakukan. Selain meminjam kekayaan orang lain demi konten yang dapat membuatnya menjadi tenar, membuat berita bohong, menghina orang, melanggar hukum, konten ASUSILA, konten SARA, dan masih banyak ragam cara lainnya menjadi pilihan demi ketenaran instan.

Menariknya, fenomena pansos ini memunculkan pasar untuk industri peminjaman barang mahal sekedar untuk dipamerkan di sosial media pelaku. Bahkan tidak jarang studio, hotel, dan venue menjajakan layanan serupa dalam hitungan jam untuk menjadi latar para pelaku pansos. Fenomena ini pun ternyata mendunia, negeri tiongkok, thailand, jepang, dan korea selatan juga merasakan fenomena meningkatnya kebutuhan pasar akan industri peminjaman ini. Fenomena pansos memiliki dampak yang besar dalam mencetak pansospansos lainnya bak reaksi berantai. Sering terjadi suatu postingan flexing yang dilakukan oleh orang yang biasa-biasa saja berujung pada menularnya postingan serupa oleh lingkar pertemanannya di sosial media.

Kebohongan terhadap Diri Sendiri

Tak ayal bahwa fenomena pansos didasari oleh kebohongan terhadap diri sendiri. Tidak sedikit yang juga berujung pada munculnya masalah psikis seperti membenci diri sendiri dan menyesali bahwa dia dilahirkan di keluarga yang biasa saja. Hal ini yang menjadi sangat destruktif. Bagi orang-orang yang introvert tak jarang kondisi ini kemudian menjadi depresi, gangguan jiwa, dan halusinasi. Namun juga tak jarang berujung pada munculnya tindak kriminal seperti penipuan, dan pencurian guna mencapai strata sosial tersebut.

Tidak selesai sampai di situ, kebohongan-kebohongan ini pun juga memiliki dampak bagi orang lain. Media sosial yang bersifat publik turut berperan dalam mencetak generasi muda yang sedari awal tidak lagi mementingkan pendidikan atau mengejar cita-cita dan profesi. Alih-alih lebih mengedepankan menjadi youtuber, selebgram, dan tiktoker hanya karena mereka mengkonsumsi konten sosial media yang tidak dapat dipenuhi oleh orang tuanya. Sayangnya banyak dari konten tersebut hanyalah konten berisikan barang pinjaman, numpang dibayarkan, atau bahkan curian.

Pendidikan dan Kecerdasan dalam mengkonsumsi konten media sosial

Fenomena ini begitu kompleks untuk diselesaikan dan menjadi suatu tantangan yang amat sulit bagi sektor pendidikan. Pendidikan perlu mengajarkan cara-cara cerdas dalam mengkonsumsi konten sosial media yang tidak mungkin terelakkan di era digital ini. Hal ini menjadi penting agar generasi kedepan memiliki kedewasaan dalam mengkonsumsi konten sosial media. Meskipun generasi muda hanya mengisi sepertiga dari penduduk tanah air, namun mereka sudah pasti menjadi masa depan bangsa Indonesia.